Satya Bumi Menyebut PT AHB dan PT TMS Menjadi Dalang Pencemaran Lingkungan di Pulau Kabaena
Sulawesi Tenggara (Sultra), merupakan daerah yang menjadi tujuan bagi para penambang nikel. Bagaimana tidak, Sultra merupakan daerah yang memiliki cadangan biji nikel terbesar di Indonesia, terutama di Kabupaten Konawe Utara (Konut) dan Pulau Kabarna.
Peneliti dari Satya Bumi, Sayiidattihayaa Afra, mencatat sekitar 73%, yaitu 650 km2 dari 891 km2 total luas Kabaena, telah diserahkan kepada perusahaan tambang.
Ia juga menjelaskan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No 1/2014) melarang tambang di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km2.
Namun, di Kabaena, pelanggaran aturan ini terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat.
“Pulau kecil mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan masyarakat yang ada di pulau kecil tak punya diversifikasi pendapatan,” kata Hayaa di Jakarta, Senin (9/9/2024).
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011 yang mengubah status hutan di Kabaena dari hutan lindung menjadi hutan produksi membuka pintu bagi perusahaan tambang untuk masuk.
“Hingga kini, 40% dari izin usaha pertambangan yang diterbitkan di pulau ini telah beroperasi, sementara sisanya bakal menyusul,” ungkapkya.
Aktivitas pertambangan di Kabaena telah menyebabkan deforestasi besar-besaran. Data menunjukkan sejak 2001-2022, sebanyak 3.374 hektar hutan, termasuk 24 hektar hutan lindung, telah habis digunduli Perusahaan seperti PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).
“Mereka menjadi salah satu kontributor terbesar dengan deforestasi seluas 641 hektar,” bebernya.
Tak hanya PT AHB, salah satu perusahaan yakni PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) mencatat deforestasi sebesar 295 hektar dalam tiga tahun terakhir.
“TMS mengeruk hutan lindung yang menjadi sumber air utama bagi penduduk,” pungkasnya.
Reporter : Andri